Tengen lahir ketika dunia tertidur, disembunyikan layaknya aib; ditenangkan laksana hewan buas. Taring dan telinganya yang tak normal selalu disembunyikan, dan, Tengen tumbuh bersama siklus bulan purnama.
Malam jadi tempatnya bergerak, siang jadi waktunya untuk terlelap. Tengen tahu benar sejak umur belianya, pernah ia tak lawan hasratnya untuk menampakkan diri ke dunia yang masih disinari raja siang. Siang itu, Tengen dipenuhi warna ungu ditubuhnya. Sejak saat itu juga, Tengen benci kegelapan.
Tapi, susah untuk lari ketika seluruh hidupmu bergantung kepada kepergian cahaya dunia; laksana sangkar hewan yang disembunyikan dalam gelap. Hidup sebagai manusia serigala adalah takdirnya — namun Tengen, tak pernah menyerah untuk mengambil apa yang ia inginkan. Katakan ia serakah, menginginkan hal yang bukan apa yang ditulis oleh pena aksara takdir di buku hidupnya; Tengen tak peduli.
Tengen ingin hidup di kala siang masih kuasai bumi; Tengen ingin merasakan dihujani air dan sinar matahari; Tengen ingin pergi ke festival dan menyalakan kembang api untuk ditonton ratusan orang. Tengen ingin semuanya. Semua yang dijadikan larangan dalam klan siluman serigala; tiga prinsip yang tak boleh diganggu gugat — tersembunyi, tetap di gelap, dan tak mencolok.
Sangat berkebalikan, ‘kan?
Apakah Tengen tetap memilih untuk memberontak, merusak namanya sendiri di dalam pandangan keluarganya? Jawabannya; iya.
Permintaannya tak pernah basi di ujung lidah, Tengen tak lelah perjuangkan inginnya. Walau berkali-kali berdarah, api tak padam dengan warna merah ‘kan? Luka tak asing lagi di kulitnya, walau Tengen tak lakukan banyak hal untuk menyembunyikan mereka.
Di dunia penuh sihir, Tengen seperti orang bodoh karena aturan klannya tak memperbolehkannya menggunakan sihir.
“Shinobi macam apa pakai sihir!? Sebagai shinobi dan manusia serigala seperti kita, sudah seharusnya kita menggunakan seluruh kekuatan kita dengan syukur! Bukan menggunakan sihir! Sihir itu kutukan yang dilahirkan ke dunia, untuk menyesatkan seluruh umat di bumi!”
Tengen hampir hafal seluruh omongan sesepuh klannya itu. Betapa muak ia dengannya; sudah tak bisa dihitung lagi.
Di lubuk hati terdalamnya, tersembunyi dan terus dihargai layaknya harta karun — keinginannya untuk bercahaya di tengah kerumunan manusia. Bukan di kerumunan manusia ‘pun tak apa, campuran makhluk malam dengan mereka-mereka yang dihidupi oleh sinar matahari, Tengen ingin semua dari mereka menatap ke arahnya. Melihat dirinya.
Apa yang salah dari semua itu? Oh, banyak sekali. Tapi, apakah Tengen orang yang patuh peraturan? Tidak. Apakah Tengen putus asa, bahkan ketika dilawan habis-habisan? Tidak. Karena Tengen tak gampang menyerah — ia ingin hidup dengan meriah. Dikelilingi semburan warna-warni dunia, berkubang dalam cat tak bernama. Ia ingin dirinya dilihat dunia, disegani oleh dunia luar dan semua yang melihatnya bisa tahu langsung siapa namanya.
Melukis dengan sihir, rasanya indah sekali. Tengen coba-coba sekali, dua kali; dan dirinya jatuh hati.
Tapi keluarganya terlampau tradisional, terlampau kuno. Tengen tak bisa hidup meriah dengan ikatan peraturan di seluruh tubuhnya yang mengancam merobek kulitnya setiap ia mencoba memberontak. Darah di atas kanvas tak seindah cat biru; maka Tengen ingin tunjukan kepada orang-orang kolot itu, indahnya dunia yang tak abu-abu.
Tengen tak bisa menggunakan sihir. Keluarganya menentang, mengambil bibit di dalam dirinya dan memberinya cap merah di matanya.
Sakit sekali. Tapi, Eito punya sedikit hati di dalam tubuhnya dan memberinya kesempatan untuk merasakan ketenangan dalam peluknya. Tengen sering kesakitan, tapi Eito tak pergi — bahkan ketika wajahnya berisi kalimat; “seharusnya kau tak melakukan itu, lihat apa yang terjadi.” tapi Eito tak juga pergi.
Tengen tak menyerah. Jika tak bisa dapat sihir, jadi ‘lah kedua tangannya.
Dengan darahnya sendiri, tanah liat lembek yang ia campuri air, dan ranting-ranting kayu yang ia hancurkan; Tengen menggambar mata Eito. Mata yang sama dengan miliknya, hanya sedikit perbedaannya. Tapi itu mata Eito. Karena yang memberinya hangat di dunia shinobi hanya ‘lah Eito.
Di secarik kertas tua yang telah menguning, gambaran Eito yang dibuat tangannya sendiri terasa cantik. Begitu meriah.
Orang pertama yang ia parade ‘kan hasil karyanya yang pasti adalah Eito. Tengen tak berekspektasi apapun; tapi tetap saja sakit melihat Eito yang tetap menatapnya tanpa emosi apapun. Walau begitu, Eito tak membuangnya juga.
Tengen merasa seperti hidupnya di atas awan; lukisannya diterima. Membaca kembali sekarang, Tengen merasa dirinya naif minta ampun.
Malam setelahnya, Tengen diikat dengan tali tambang. Bangsat. Eito mengadu ke Ayahanda — bukan hal yang mengagetkan, sebenarnya. Sedari kecil, Eito selalu jadi anak yang begitu nurut dengan Ayahanda. Rasa khianat di hatinya masih juga sakit.
Setelah semua yang mereka lewati? Setelah malam-malam dimana Eito dan dirinya berbagi nafas?
Tengah malam, Tengen tertanggal ‘kan di tanah, sendiri dalam sepi. Cahaya bulan mengasihinya dengan tak memberi panas ke luka di tubuhnya; matanya berdenyut dengan tanda bahwa ia t’lah diusir dari klan.
Ah, sudahlah. Apa yang bisa ia lakukan? Bukankah ini yang ia inginkan, lari? Lari dari semuanya?
Mengapa hatinya seperti tergores begitu dalam?
Walau dengan bekas merah di matanya, Tengen tetap jadi pelukis. Pertama, jadi seniman jalanan. Hidup dari lemparan koin orang-orang yang lewat. Tidur di depan ruko-ruko saat malam datang; Tengen sering tak bisa tidur karena rungunya yang sensitif bukan main. Berbulan-bulan seperti itu, hidup dari kasihan dan kagum orang-orang.
Hampir setahun, Tengen berhasil beli apartemen sempit. Ya — yang penting, ia bisa tidur dengan tenang sekarang. Jika kau bertanya; kenapa lama sekali? Ya, Tengen memilih beli alat-alat lukis dibandingkan beli rumah terlebih dahulu. Memang terkesan bodoh, namanya saja lapar mata. Bertahun-tahun melukis dengan dedaunan dan bunga, Tengen bahagia setengah mati bisa memegang kuas dan cat air murah.
Karya pertama yang ia buat adalah gambar wajah Eito. Tengen tak tahu mengapa; ia hanya perlu melukis lelaki itu sekali lagi. Dan, mungkin dengan ini, akhirnya ia bisa benar-benar melepaskan semuanya.
Lamban namun Tengen tak menyerah — dua tahun berlalu, ia bisa membeli sebuah bangunan dua lantai yang ia jadikan toko (?) konsultasi lukisan potrait dan lantai atasnya untuk tempatnya mengambil rehat. Dan, ternyata, tempatnya lumayan ramai pengunjung.
Kebanyakan dari mereka tertarik dengan dekorasi warna-warni mencolok tempatnya; dan, mungkin lukisannya benar-benar bagus hingga banyak orang-orang yang terus berdatangan. Foto jadi sebuah kemewahan zaman itu, warnanya hitam putih pula. Lebih baik dilukis ‘kan?
Toh, Tengen suka menggambar wajah. Banyak sekali yang berbeda-beda, dari bentangan bumi bagian utara hingga udara — tak pernah sekali ia lihat yang benar-benar sama. Kalau mirip, pasti ada. Benar-benar sama? Tidak juga. Bahkan, saudara kembar identik saja punya perbedaan bahkan jika itu hanya sepersih. Tengen makin sering habiskan waktunya melukis dan membuat sketsa untuk uang-uang yang mulai datang.
Tapi, Eito tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya. Tertinggal di paling belakang, menunggu sepi hingga bisa mengusik. Apa Tengen mencoba mengusirnya? Sudah, berkali-kali, bahkan. Lelah. Rasanya gelar ‘shinobi’ tak pernah benar-benar lepas darinya.
Maka, berduka dalam kehilangan, Tengen melukis di tengah malam. Dirinya dan Eito — bergandengan tangan, membelakanginya. Dengan langit penuh kembang api, Tengen suka lupa betapa indahnya bebungaan api itu. Menyebar di seluruh kanvas dengan warna-warna terang, Eito dan dirinya terlihat seperti gelap dunia yang takkan pernah benar-benar hilang; bahkan ketika dunia diterangi oleh ribuan bunga api.
Bahkan di bunga tidurnya, Tengen terkadang masih melihatnya.
Tuhan, Tengen merindu kepada yang tak bisa ia tuju.
Kehidupannya berjalan.. normal. Banyak orang datang untuk membayarnya untuk membuat lukisan, dan, Tengen tak terlalu terbebani karena, ia tahu masa-masa dulu lebih kalut. Sama saja seperti merusak kehormatannya sendiri jika ia mendapati hal yang tak bisa ia syukuri di atas tanah yang ia bangun. Kehidupannya tumbuh dalam sulit, dan Tengen berusaha damai dengan masa lampau.
Banyak sekali figur eksentrik yang datang, unik dengan kepribadian yang beragam pula. Tengen tak tahu jumlah pastinya, tapi ia tahu dari semua yang pernah ia temui; keanehan di netra orang lain; tak ada yang sama. Tak ada yang sama dengan Eito. Tak ada yang cukup sama dengan Eito.
Tengen sendiri tak tahu mengapa ia masih mencari-cari Eito di mata orang lain.
Apa rasa ini? Darimana datangnya? Mengapa harus sekarang Tengen menderita, ketika Eito tak pernah hadir setelah mengkhianatinya seperti itu?
Mengapa ia harus menanamkan hatinya kepada tubuh milik sang adik?
Tak ada yang melakukan itu. Tabu. Abnormal. Semua makian yang sudah pernah Tengen jamah, rasakan di antara kulitnya. Tapi, diantara rangkaian diri Eito — Tengen temukan dirinya sebuah hangat. Lentera, mungkin.
Namun, ia dan Eito bukan belahan jiwa. Mereka bukan kepingan puzzle yang menyatu, yang dibuat oleh surgawi. Keduanya bahkan pantas dapat siksaan di lubuk neraka paling bawah; di antara serpihan tubuh, mereka akan berbagi tempat. Tidak di dunia, tidak di akhirat. Mereka berdua tak seharusnya menumbuhkan cinta yang mengikat, tak seharusnya Tengen membagi tangisnya malam itu; tak seharusnya Eito membagi kasihnya malam itu.
Eito akan menikah suatu saat nanti. Di sebuah perjodohan — atau, dengan pemain tali hatinya. Dan, Tengen Uzui hanya akan jadi penonton. Tengen tahu ia takkan bisa menahan Eito untuk bersenggama dengan yang lain, tapi hatinya tak bisa hentikan cemburu untuk terus tumbuh gila-gilaan. Rasa kalah jadi familiar, Tengen tahu tak ada yang bisa memegang adik mereka sendiri karena cinta tabu.
Atau, ada ‘kah?
Sore itu, matahari tenggelam dimakan mendung. Gelap lebih cepat datang — Tengen tak khawatir. Seumur hidup bertahan dalam malam dengan seluruh iblis-iblisnya, Tengen sudah familiar. Sejujurnya, Tengen tak punya ekspektasi akan ada yang datang. Tak ada jadwal, jalanan sepi dengan orang-orang berlarian pulang ke rumah. Dingin jatuh ke bumi, melingkupi seluruh jalanan dalam derasnya air mata awan.
Bel berdering redam, tanda pintu dibuka. Dari balik kanvas kosong, Tengen bisa lihat pria dengan surai laksana api dan penutup mata di bagian kiri; matanya tak juga berkedip sembari mengambil pandangan.
“Selamat datang,” Tengen menyapa, pria itu merekah ‘kan senyumnya lebar. Alisnya aneh sekali.. tapi cukup tampan, juga. Matanya juga seperti lahir dari rajutan mentari — pertama kali Tengen lihat mata seperti itu.
Sayangnya, hanya satu yang terlihat.
“Tengen yang maha flamboyan, benar?” senyum yang berpakaian rapi itu dibumbui rasa geli, dan Tengen bisa merasakan dirinya tersenyum dengan rasa bangga. “Ya, silahkan duduk, gentleman!” sebelum duduk di kursi kayu yang diatur sedemikian rupa agar menghadap Tengen tanpa ketutupan kanvas — mereka berdua membagi jabat tangan. “Kyojuro Rengoku.”
Bahkan dari balik sarung tangan putihnya, Tengen bisa rasakan dingin tak manusiawi dari tangan Kyojuro.
Oke. Lukisan yang diinginkan Kyojuro ini cukup detail dari deskripsinya; setengah badan, Kyojuro dengan adiknya duduk berdampingan sembari tersenyum, cahaya mentari dibuat seakan warna putih (catatan: JANGAN DIBIKIN KUNING!), tanaman dan bunga-bunga sebagai background..
Kau tahu apa yang datang di pikiranku? Foto pernikahan. Terlebih, Kyojuro sempat mengatakan ingin tangan mereka berdua untuk memadu (?) if that makes sense. Dia bilang, aku ‘bisa’ menggambar adiknya berumur 20 tahun. Apakah itu artinya sang ‘adik’ (cara Kyojuro berbicara tentangnya seperti manusia digandrung asmara) lebih tua dari 20 tahun? Kenapa harus 20 tahun?
“Biayanya terserah Mas Tengen saja,” bibir milik yang bersurai api merekah ‘kan senyum miring, matanya menyipit tapi tak sembunyikan cinta setia yang dihamburkan kepada ‘adik’ ini. Tangannya yang sedari tadi tak lepas dari sarung tangan putih (yang seperti dari abad pertengahan itu) menarik diri ke kantung di bajunya yang formal minta ampun. Sudah seperti anggota kerajaan turun ke tanah rakyat jelata — di saku samping kanan, ada jam kantung jadul mengular ke tengah dadanya.
Kyojuro menunjuknya dengan gestur arogan; “saya tak peduli seberapa mahal.” lanjut dengan wajah penuh percaya diri. Selain menghamburkan cinta, sepertinya Kyojuro juga tak segan hamburkan uang.
Semua keanehan diacuhkan; siapa yang bisa menolak segepok uang?
“Aku akan menjemputmu jam 8 malam besok, Senjuro pasti sangat senang bertemu denganmu.”
Adalah kalimat yang Kyojuro tinggalkan untukku. Bukan apa-apa; aneh saja mengapa ia tak langsung memberikan ‘ku alamatnya saja secara langsung. Jujur saja, jarang-jarang aku sampai berkunjung ke rumah klien untuk menemui orang yang ingin di kekal ‘kan dalam lukisan. Aneh — tapi aku bukan berada di posisi bisa menolak manisnya uang.
Persetan dengan martabat shinobi; toh, sudah dicabut. Aku sekarang tak ingin melakukan apapun yang membahayakan nyawa tanpa bayaran! Titik nggak pake koma! Ternyata bekerja demi uang tak memuakkan sama sekali, berbanding terbalik dengan apa yang digambarkan ketua klan jaman dulu. Ternyata lumayan bodoh aku jaman dulu.
Sekarang tak lagi-lagi aku bersikap tolol!
Salah — ini pilihan bodoh. Tolol, seharusnya aku tak ikuti kata-kata pria mencurigakan dengan inisial K ini. Rumahnya besar, benar, vibes orang kaya kelihatan sekali; tapi auranya sangat tak mengenakkan. Bertahun-tahun bertarung dengan sekutu dalam selimut, aku tahu persis pasti ada yang salah dengan rumah ini — atau pemiliknya. Salah satunya. Atau keduanya, tak tahu.
Ah, Tengen Uzui, jangan berprasangka buruk. Mungkin saja dia benar-benar anak haram kerajaan jadi tinggal di tempat seperti pengasingan ini. Memang auranya gelap sekali — mungkin karena mendung! Ya, karena mendung. Pasti hari ini makan terlalu banyak, atau minum terlalu sedikit hingga menghalu tidak jelas. Ini sumber uangmu, Tengen Uzui! Ayo berjuang! Seniman harus ‘lah kuat dalam menghadapi ujian!
Memperhatikan alur bata bertumpuk satu sama lain, secara tampilan, rumah itu terasa hangat. Hanya, sedikit kuno. Didepan pintu terdapat satu pasang sepatu pantofel mengkilat, yang seperti baru saja dipakai dan dilepas. Hm. Cukup kecil — apa ini punya Senjuro? Sebenarnya umur berapa si ‘adik’ ini? Kyojuro sendiri terlihat seperti manusia dengan umur 20 tahunan. Akhir kepala dua? Tapi, Kyojuro sempat bercerita dirinya dan Senjuro memiliki tenggat umur 6 tahun. Lalu, penaatan kalimat pria ini aneh sekali.
“Tolong Mas Tengen gambar Senjuro umur 20-an ya, dia paling cantik di umur segitu,”
— Kayak, apaan dah? Kalau adik, tenggat umur 6 tahun, kenapa harus sekali pakai kalimat seperti itu? Senjuro ini masih ABG? Tapi ‘dia paling cantik di umur segitu’ maksudnya apa? Senjuro harusnya belum jauh-jauh dari umur 20 ‘kan? Kyojuro saja terlihat muda.
Suara kenop kayu diputar, timbulkan suara halus yang menyatu dengan layu angin. “Jangan takut sama rumah saya ‘ya, Mas.” senyumnya tak reda-reda, menyatu dengan takut yang bertumbuh di balik tulang belakang. Enggak — walaupun Kyojuro berniat menenangkan (atau mengintimidasi. Iya, ini pasti peringatan. Apa yang menunggu dibalik pintu?), malah berbuat sebaliknya.
Sebelum ruang tamu, terlihat lorong kecil yang diberi cahaya oleh kasih temaram lampu kuning. Tua; baunya lama dan usang. Kyojuro melepas sepatu pantofelnya sendiri, Tengen tak bisa duduk diam dalam sepi. Ia ikuti gerakan pria itu. Tiba-tiba, suara langkah kaki menyambut rungu, lidahnya serasa jadi abu; pria bermata ungu datang dari ruang tamu.
Rambutnya hitam, bibirnya tipis dan mengerucut dalam takut. Tidak terlihat seperti Kyojuro — apakah ini Senjuro? Tapi, pria itu membawa tas kerja kulit, berjalan keluar menghindari tuan rumah. Seperti kehadiran Kyojuro menakuti hatinya, tatapan laksana yang diberikan burung hantu pada dini malam merusak rusuk jika tertuju kepada dirinya. Tangannya bergetar, tapi Kyojuro menyela langkah.
“Kanata, sudah selesai ‘ya? Apakah bajunya sudah dipasang?” gerakan pria dengan estimasi usia belasan tahun (hampir menginjak kepala dua, Tengen tahu pasti) itu berhenti seluruhnya. Seperti tatapan ramah Kyojuro setajam pisau, seperti kehadiran pemilik kandang adalah musuh. Apa dia perias? Kyojuro banyak juga persiapan untuk pembuatan lukisan ini. Wajahnya cantik ‘sih. Perias, mungkin.
“Sudah ‘kak.” suaranya bergetar bersama dengan tubuhnya. Wajahnya datar, tapi Tengen tahu ada yang membuatnya bersikap nanar. Takut tersembunyi di antara sudut-sudut kulit muda; Tengen tahu ada yang tak benar.
“Bagus,” sudut bibir Kyojuro makin mencuat ke atas, sampai-sampai senyum itu lebih tinggi daripada ekspetasi orang tua. Matanya tertutup dalam waktu sebentar, mulutnya mengadu lebih dekat ke telinga yang lebih muda, “Apa Senjuro menyukainya?” tak terasa seperti sebuah pertanyaan, tapi perintah. Jika dijawab kata selain ‘iya’, Tengen tak tahu beberapa waktu ke depan akan dibawa kemana.
Anggukan kaku jadi jawaban, suara menggelegar tak cukup untuk tenangkan dua pendatang yang ketakutan. “Oke. Terimakasih, Kanata! Aku tahu kau bisa dipercaya.” dua tepukan keras dilayangkan ke pundak Kanata, dan setelah tangan Kyojuro pergi ke samping badannya, Kanata menunduk dan berbisik “permisi” sebelum berlari ke belakangku — menemui pintu depan. Sebelum benar-benar pergi, pria pendek itu berbisik kepadaku, “dia orang aneh, hati-hati.” sebelum keluar dari rumah dengan kecepatan dikejar hewan buas.
Ah, aku memang punya kecurigaan dengan Kyojuro. Apa dia makhluk malam juga? Aku tak terkejut, sebenarnya. Tangannya dingin bukan main, beberapa hari lalu terakhir kali aku menjabatnya. Tapi, aku takkan berbohong jika aku berkata bahwa aku tak takut. This guy really creeps me out.
“Maaf ‘ya, Kanata itu perias yang bagus. Cuma, pikirannya gampang terguncang,” tawa kembali dipercikkan, “Ayo, Mas Tengen.” tawarannya tak terasa ramah.
Perjalanan ke ruang tamu itu tak sampai 10 detik, satu purnama ‘pun tidak sampai. Tapi, rasanya, lari susah sekali.
Mataku tak salah — tak seharusnya salah.
Ada mayat. Mayat di ruang tamu. Mayat di ruang tamu Kyojuro — dengan baju pernikahan.
Pikiranku bergerak mendesak, lari, lari, lari. Aku tak seharusnya diam, namun kakiku seakan t’lah dihujam ke tanah.
Cahaya temaram sinari ruang tamu yang menyambung dengan dapur, di sofa berkursi satu, terduduk mayat — bukan, tengkorak. Tengkorak manusia. Tidak salah lagi; tengkorak itu terlalu realistis untuk jadi bahan penipuan. Kyojuro aneh sejak awal. Tengen sudah berkali-kali cabik wajah manusia untuk mengetahui bahwa kepala tengkorak itu asli. Mayat lama — didalam rumah Kyojuro. Memakai baju pernikahan, putih dan lengkap dengan bunga segar di kantung dada.
Kyojuro senyumnya merekah layaknya manusia dibunuh akal sehatnya oleh cinta tak direstui dunia; langkahnya terlihat sembrono dengan ceria yang tak manusiawi; diciumnya rongga gigi tengkorak itu penuh cinta. Asmara jelas menggandrungi hatinya, penuh rasa ia berbisik ke tempat dimana telinga seharusnya berada. Berbisik, tapi rungu Tengen terlampau mahir menangkap suaranya yang redup dengan setia.
“Aku pulang, Sayang.” lalu lidahnya keluar, seperti deklarasi, menjilat kehampaan dimana mata seharusnya ditempatkan. Apa dia pikir Tengen akan cemburu melakukan itu? Orang ini gila. Bukan — bukan manusia.
Kyojuro membuka sarung tangan putihnya, dibawahnya, Tengen lihat benda dingin yang ia rasakan ketika ia membagi kontak. Jari-jari dengan kuku tajam; warnanya hitam layaknya malam. Tengen tahu betul karakteristik makhluk itu; makhluk yang tak normal — tak seharusnya ada, yang kebal akan mati.
Vampir. Kyojuro adalah seorang vampir.
Kelima jarinya bersanggah di rahang tengkorak yang menatap Tengen tanpa mata — memutar kepalanya seolah membuatnya menatap ke arah Tengen yang terdiam tak jauh dari Kyojuro.
“Ini tamu yang ‘ku bicarakan, Senjuro. Akhirnya, kita bisa menikah dalam lukisannya,”